Kamis, 02 Mei 2013

KEWIBAWAAN DALAM PEMBELAJARAN


KEWIBAWAAN DALAM PEMBELAJARAN

 A.Kewibawaan
           Kewibawaan merupakan “alat pendidikan” yang diaplikasikan oleh guru untuk menjangkau (to touch) kedirian anak didik dalam hubungan pendidikan. Kewibawaan ini mengarah kepada kondisi high touch, dalam arti perlakuan guru menyentuh secara positif, kontruktif, dan komprehensif aspek-aspek kedirian/kemanusiaan anak didik. Dalam hal ini guru menjadi fasilitator bagi pengembangan anak didik yang diwarnai secara kental oleh suasana kehangatan dan penerimaan, keterbukaan dan ketulusan, penghargaan, kepercayaan, pemahaman empati, kecintaan dan penuh perhatian (Rogers, 1969; Gordon, 1974; Smith, 1978; Barry & King, 1993; Hendricks, 1994). Sejalan dengan pengembangan suasana demikian itu, guru dengan sungguh-sungguh memahami suasana hubungannya dengan anak didik secara sejuk, dengan menggunakan bahasa yang lembut, tidak meledak-ledak (Silberman, 1970 dan Gordon, 1974).
           Dalam melaksanakan tugas sebagai guru, hal penting yang harus diperhatikan bagi seorang guru adalah persoalan kewibawaan. Pendidik harus meliliki kewibawaan (keluasan batin dalam mendidik) dan menghindari penggunaan kekuasaan lahir, yaitu kekuasaan semata-mata pada unsure kewenangan jabatan.     Kewibawan justru menjadikan suatu pancaran batin yang dapat memimbulkan pada pihak lain untuk mengakui, menerima dan “menuruti” dengan penuh pengertian atas keluasaan tersebut, tetapi tidak sampai guru dijadikan sebagai sesuatu yang sangat agung yang terlepas dari kritik. Kewibawaan guru akan lebih berarti jika membuat siswanya dapat melakukan koreksi atau kritik terhadap dirinya.
           Kewibawaan pendidik hanya dimiliki oleh mereka yang dewasa. Yang dimaksud dengan kedewasaan disini adalah kedewasaan pikiran. Kedewasaan pikiran hanya akan tercapai oleh individu yang telah melakukan proses atau dialektika dengan realitas social yang pernah dilaluinya. Misalnya ketika masih mahasiswa aktif melakukan diskusi-diskusi dengan berbagai kelompok dalam kampus atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang sifatnya memacu perkembangan kognitif, afektif dan psikomotorik Atau terlibat dalam advokasi-advokasi kemahasiswaan. Ada tiga sendi kewibawaan, yaitu kepercayaan, kasih sayang dan kemampuan. Pertama, kepercayaan, pendidik harus percaya bahwa dirinya bisa mendidik dan juga harus percaya bahwa peserta didik dapat mengembangkan dirinya sehingga dalam proses pembelajaran guru berfungsi sebagai pembangkit potensi peserta dididik. Kedua, Kasih sayang mengandung makna, yaitu penyerahan diri kepada yang disayangi/peserta didik dan melakukan proses pembebasan terhadap yang disayangi dalam batasan-batasan yang tidak merugikan peserta didik dan kesediaan untuk berkorban dalam bentuk konkretnya berupa pengabdian dalam kerja. Ketiga, kemampuan mendidik dapat dikembangkan melalui beberapa cara, antara lain pengkajian terhadap ilmu pengetahuan kependidikan, mengambil manfaat dari pengalaman kerja, senantisa megikuti alur perkembangan ilmu pengetahuan, agar guru mengajar sambil belajar hal-hal yang baru, sehingga guru tidak hanya seperti burung beo yang pengetahuannya tidak pernah bertambah.
           Kewibawaan yang efektif menurut Charles Schaefer (1996:86) didasarkan atas pengetahuan yang lebih utama atau keahlian yang dilaksanakan dalam suatu suasana kasih sayang dan saling menghormati. Karenanya, guru diharapkan memiliki kewibawaan agar mampu membimbing siswa kepada pencapaian tujuan belajar yang sesungguhnya ingin direalisasikan. Wens Tanlain dkk. (1996:78) lebih tegas menjelaskan bahwa kewibawaan adalah adanya penerimaan, pengakuan, kepercayaan siswa terhadap guru sebagai pendidik yang memberi bantuan, tuntunan dan nilai-nilai manusiawi. Kewibawaan meliputi:
    a. Pengakuan adalah penerimaan dan perlakuan guru terhadap anak didik atas dasar kedirian/kemanusiaan anak didik, serta penerimaan dan perilaku anak didik terhadap guru atas dasar status, peranan, dan kualitas yang tinggi.
    b. Kasih sayang dan kelembutan adalah sikap, perlakuan, dan komunikasi guru terhadap anak didik didasarkan atas hubungan sosio-emosional yang dekat-akrab-terbuka, fasilitatif, dan permisif-konstruktif bersifat pengembangan. Dasar dari suasana hubungan seperti ini adalah love dan caring dengan fokus segala sesuatu diarahkan untuk kepentingan dan kebahagiaan anak didik, sesuai dengan prinsip-prinsip humanistik.
    c. Penguatan adalah upaya guru untuk meneguhkan tingkah laku positif anak didik melalui bentuk-bentuk pemberian penghargaan secara tepat yang menguatkan (reinforcement). Pemberian penguatan didasarkan pada kaidah-kaidah pengubahan tingkah laku.
    d. Pengarahan adalah upaya guru untuk mewujudkan ke mana anak didik membina diri dan berkembang. Upaya yang bernuansa direktif ini, termasuk di dalamnya kepemimpinan guru, tidak mengurangi kebebasan anak didik sebagai subjek yang pada dasarnya otonom dan diarahkan untuk menjadi pribadi yang mandiri.

   e. Tindakan tegas yang mendidik adalah upaya guru untuk mengubah tingkah laku anak didik yang kurang dikehendaki melalui penyadaran anak didik atas kekeliruannya dengan tetap menjunjung kemanusiaan anak didik serta tetap menjaga hubungan baik antara anak didik dan guru. Dengan tindakan tegas yang menddik ini, tindakan menghukum yang menimbulkan suasana negatif pada diri anak didik dihindarkan.
    f. Keteladanan adalah penampilan positif dan normatif guru yang diterima dan ditiru oleh anak didik. Dasar dari keteladanan adalah konformitas sebagai hasil pengaruh sosial dari orang lain, dari yang berpola compliance, identification, sampai internalization (Musen & Rosenzweig, 1973).
           Seorang guru menurut Hadiyanto (2004:30), merupakan manusia terhormat dalam segala aspek, yang harus menjadi suri tauladan di kelas dan di luar kelas, baik dalam hal kemampuan berpikir, bersikap, maupun bertutur kata yang tercermin dari tingkah lakunya. T. Raka Joni (1982:65) menyatakan bahwa karakteristik guru meliputi:
a. penguasaan materi yang mantap,
b. sepenuh hati menyukai bidangnya,
c. menguasai berbagai strategi pembelajaran,
d. mampu mengelola kegiatan pembelajaran secara klasikal, kelompok dan individual
e. mengutamakan standar prestasi yang tinggi untuk siswa dan dirinya, dan
f. dekat dan suka bergaul dengan siswa.
           Dengan demikian, guru harus memiliki kemampuan, keterampilan, pandangan yang luas serta harus memiliki kewibawaan dan kesungguhan melaksanakan tanggung jawabnya.
Kewibawaan guru tersebut di atas harus didasarkan pada proses internalisasi pada diri peserta didik. Menurut T. Raka Joni (1985:66) bahwa proses internalisasi tercermin pada pendekatan guru yang dekat dengan siswa, luwes tetapi tegas dan sistematis dalam pengaturan kerja. Artinya bahwa proses internalisasi pada diri peserta didik berlangsung melalui diaktifkannya kekuatan yang ada pada mereka melalui pendekatan yang digunakan guru yaitu kekuatan berpikir, merasakan dan berpengalaman yang semuanya itu terpadu dalam bentuk pertimbangan-pertimbangan yang matang terhadap apa yang akan dilakukan.
           Prayitno (2002:14) menyatakan bahwa dalam proses pendidikan ada kedekatan antara pendidik dan peserta didik. Lebih jauh Prayitno (2002:14) menjelaskan bahwa pamrih-pamrih yang ada, selain dapat merugikan dan membebani peserta didik, merupakan pencederaan terhadap makna pendidikan dan menurunkan kewibawaan pendidik. Sejalan dengan itu, Muhibbin Syah (1997:221) menyatakan bahwa wibawa guru di mata murid kian jatuh. Khususnya di sekolah-sekolah kota yang hanya menghormati guru apabila ada maksud-maksud tertentu seperti untuk mendapatkan nilai tinggi dan dispensasi.

http://nyuy87.wordpress.com/2009/12/03/kewibawaan-guru/

MAKALAH PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK TENTANG TINGKAH LAKU MENYIMPANG

TINGKAH LAKU MENYIMPANG (TLM)

A.    Konsep Tingkah Laku Menyimpang
Perilaku seseorang dapat dikatakan menyimpang apabila perilaku tersebut dapat merugikan dirinya sendiri maupun orang lain, yang melanggar aturan-aturan, nilai-nilai dan norma baik norma agama, norma hukum, dan norma adat. Menurut Andi Mappiare (1982) tingkah laku menyimpang itu juga disebut dengan “Tingkah Laku Bermasalah”. Artinya, tingkah laku bermasalah yang masih di anggap wajar dan di alami oleh remaja yaitu tingkah laku yang masih dalam batas ciri-ciri pertumbuhan dan perkembangan sebagian akibat adanya perubahan secara fisik dan psikis, dan masih dapat diterima sepanjang tidak merugikan diri sendiri dan masyarakat sekitarnya.
Jadi, tingkah laku penyimpangan dapat diartikan bahwa perilaku yang buruk atau negatif yang merugikan diri sendiri dan orang lain yang tentu saja melanggar norma-norma yang ada yang cenderung berbeda dari orang-orang sekitarnya.
B.     Jenis-jenis Tingkah Laku Menyimpang
Adapun bentuk-bentuk tingkah laku menyimpang yang dapat kita identifikasi adalah:
·         Reaksi Hiperkenetik
Maksudnya anak yang melakukan tingkah laku menyimpang cenderung berlebih-lebihan dalam bersikap.
·         Menarik Diri
Remaja ini akan selalu menghindar dari kelompok teman-temannya karena di anggap berbeda dengan teman yang lain.
·         Cemas yang Berlebihan
Ia akan selalu dilanda kecemasan atas sikapnya yang bertentangan dengan orang lain sehingga dirinya takut tidak akan diterima.
·         Melarikan diri dari rumah dan masuk perkumpulan anak-anak nakal (Gank)
Hal ini terjadi apabila, misalnya pendapatnya di rumah tidak didengarkan oleh penghuni rumah seperti ayah atau ibu, selalu diremehkan oleh saudara dan lain-lainnya.

·         Agresi Individual
Biasanya remaja yang mempunyai sikap seperti ini akan cendrung agresif terhadap lawannya dalam segala hal yang bersifat keras.
·         Menjadi Remaja Nakal
Akibat tidak adanya perhatian di rumah atau orang-orang yang diharapkan menjadi tempat keluh kesah maka tidak mustahil semua sikap yang ia munculkan adalah sifatnya yang buruk dengan sering menggangu teman, memunculkan dan sikap lain yang bersifat fisik dan kekerasan.
·         Melakukan Tindakan Kriminal
Mungkin seringnya remaja berinteraksi dengan lingkungan yang buruk dapat menyebabkan remaja tersebut malakukan hal-hal yang negatif seperti sering mencuri, merampok, berjudi dan sebagainya.
·         Penyimpangan Seksual
Hal ini dapat terjadi apa bila remaja tersebut terpengaruh hal-hal negatif di luar kewajibannya sebagai siswa dan anak yang seharusnya belajar di sekolah. Tapi mereka justru terperangkap pada jalan hitam dengan menjadi homo seksual, lesbi, gigolo, sadisme dan sebagainya.
·         Kecanduan narkotika dan obat-obat terlarang (Narkoba).
·         Melakukan pemerasan untuk mendapatkan uang kepada orang lain.
·         Dan lain-lain.
Batas tentang perilaku menyimpang tidak begitu jelas dan sangat luas, sebagai acuan bahwa perilaku dapat dikatakan menyimpang, maka Gunarsa (1986) menggolongkan ke dalam dua jenis, yaitu:
1.      Penyimpangan tingkah laku yang bersifat amoral dan asosial, dan tidak diatur dalam undang-undang, sehingga tidak dapat digolongkan kedalam pelanggaran hukum. Contohnya adalah, berbohong, membolos, kabur atau minggat dari rumah, membaca buku porno, berpesta semalam suntuk, berpakaian tidak pantas dan minum minuman keras.
2.      Penyimpangan tingkah laku yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian sesuai dengan undang-undang hukum yang biasa disebut dengan kenakalan remaja (deliquency). Misalnya adalah berjudi, membunuh, memperkosa dan mencuri.


C.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Munculnya Tingkah Laku Menyimpang pada Remaja
Banyak sekali faktor yang dapat menyebabkan timbulnya tingkah laku menyimpang, baik yang berasal dari dalam maupun dari dalam diri individu yang bersangkutan maupun yang berasal dari luar dirinya.
Secara garis besar faktor-faktor penyebab terjadinya tingkah laku menyimpang dapat berasal dari:
·         Keadaan individu yang bersangkutan
1.      Potensi kecerdasannya rendah, sehingga tidak mampu memenuhi tuntutan akademik sebagaimana yang diharapkan. Akibatnya ia sering frustasi, mengalami konflik batin dan rendah diri.
2.      Mempunyai masalah yang tidak terpecahkan.
3.      Belajar cara penyesuaian diri yang salah.
4.      Pengaruh dari lingkungan.
5.      Tidak menemukan figur yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari.
·         Dari luar individu yang bersangkutan
Lingkungan Keluarga
1.      Suasana kehidupan keluarga yang tidak menimbulkan rasa aman (keluarga brocken home).
2.      Kontrol dari orang tua yang rendah, yang menyebabkan berkurangnya dispilin dalam kehidupan keluarga.
3.      Orang tua yang bersikap otoriter dalam mendidik anak.
4.      Tuntutan orang tua terlalu tinggi atau tidak sesuai dengan kemampuan yang dimiliki anak.
5.      Kehadiran dalam keluarga tidak diinginkan, sehingga orang tua tidak menyayanginya.
Lingkungan Sekolah
1.      Tuntutan kurikulum yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dibanding dengan kemampuan rata-rata anak yang bersangkutan.
2.      Longgarnya disiplin sekolah menyebabkan terjadinya pelanggaran peraturan yang ada.
3.      Anak-anak sering tidak belajar kerena guru sering tidak masuk, sehingga perilaku anak tidak terkontrol.
4.      Pendekatan yang dilakukan guru tidak sesuai dengan perkembangan remaja.
5.      Saranan prasarana sekolah yang kurang memadai, akibatnya aktivitas anak jadi terbatas.
Lingkungan Masyarakat
1.      Kurangnya partisipasi aktif dari masyarakat dalam membelajarkan anak atau memecah pelanggaran tata tertib sekolah.
2.      Media cetak dan media elektronik yang beredar secara bebas yang sebenarnya belum layak buat remaja, misalnya berupa gambar porno, buku cerita cabul.
3.      Adanya contoh atau model di lingkungan masyarakat yang kurang menguntungkan bagi perkembangan remaja, misalnya main judi, minumaman keras dan pelacuran.

D.    Pelayanan yang Tepat Terhadap Remaja untuk Menghindari Terjadinya Tingkah Laku Menyimpang di Lingkungan Keluarga, Sekolah dan Masyarakat
Penyimpangan perilaku remaja atau siswa tidak hanya merugikan dirinya dan masa depannya, tetapi juga orang lain dan memusnahkan harapan orang tua, sekolah dan bangsa. Oleh karena itu diperlukan tindakan nyata agar tingkah laku yang menyimpang tersebut dapat diatasi. Usaha tersebut dapat bersifat pencegahan (preventif), pengentasan (carrative), pembetulan (correntive), dan penjagaan atau pemeliharaan (preservative).
·         Usaha yang dapat dilakukan oleh keluarga
1.      Menciptakan hubungan yang harmonis dan terbuka di antara anggota keluarga, anak mereka lebih kerasan di rumah dari pada keluyuran di luar rumah.
2.      Orang tua jangan terlalu menuntut secara berlebihan kepada anak untuk berprestasi atau memaksakan kehendaknya untuk mengambil jurusan/bidang studi tertentu bilamana tidak sesuai dengan kemampuan/protensi yang dimiliki anak.
3.      Membantu mengatasi berbagai kesulitan yang dialami remaja.
·         Usaha yang dapat dilakukan oleh sekolah
      1.      Menegakkan disiplin sekolah.
      2.      Membantu masalah yang di alami oleh siswa sebagaimana di ketahui bahwa salah satu sumber terjadinya perilaku menyimpang yaitu siswa menghadapi masalah yang tidak terpecahkan.
      3.      Menyediakan fasilitas, sarana dan prasarana belajar.
      4.      Sekolah perlu menjalin kerjasama dengan berbagai pihak.

·         Usaha masyarakat dalam menanggulangi perilaku menyimpang
      1.      Secara bersama-sama ikut mengontrol dan menegur bila ada anak yang tidak masuk kelas pada jam pelajaran berlansung, misalnya nongkrong di warung.
      2.      Melaporkan kepada pihak sekolah bila mengetahui ada siswa dari sekolah itu melakukan tindakan menyimpang.
      3.      Ikut menjaga ketertiban sekolah, dan menciptakan suasana yang aman dan nyaman untuk terwujudnya proses belajar mengajar yang baik.

E.     Upaya Guru Pembimbing Mengatasi Masalah Tingkah Laku Menyimpang pada Remaja Sesuai Bidang Bimbingan
Menurut Prayitno, penanganan kasus pada umumnya dapat dilihat sebagai keseluruhan perhatian dan tindakan seseorang terhadap kasus (yang dialami oleh seseorang) yang dihadapkan kepadanya sejak awal sampai dengan diakhirinya perhatian dan tindakan tersebut. Dalam pengertian itu penanganan kasus meliputi:
1.      Pengenalan awal tentang kasus, yang dimulai sejak mula kasus itu dihadapkan.
2.      Pengembangan ide-ide tentang rincian masalah yang terkandung di dalam kasus itu.
3.      Penjelajahan lebih lanjut tentang segala seluk-beluk kasus tersebut, dan akhirnya
4.      Mengusahakan upaya-upaya kasus untuk mengatasi atau memecahkan sumber pokok permasalahan itu.

Lebih lanjut Prayitno mengungkapkan, dilihat lebih khusus, penanganan kasus dapat dipandang sebagai upaya-upaya khusus untuk secara langsung menangani sumber pokok permasalahan dengan tujuan utama teratasinya atau terpecahkannya permasalahan yang dimaksudkan.
Dengan demikian, penanganan kasus dalam pengertian yang khusus menghendaki strategi dan teknik-teknik yang sifatnya khas sesuai dengan pokok permasalahan yang ditangani itu. Setiap permasalahan pokok biasanya memerlukan strategi dan teknik tersendiri. Untuk itu diperlukan keahlian konselor dalam menjelajahi masalah, penetapan masalah pokok yang menjadi sumber permasalahan secara umum, pemilihan strategi dan teknik penanganan atau pemecahan masalah pokok itu, serta penerapan pelaksanaan strategi dan teknik yang dipilihnya itu.
Dalam bimbingan dan konseling studi kasus diselenggarakan melalui cara-cara yang bervariasi, seperti analisis terhadap laporan sesaat (Anecdotal report), otobiografi atau cerita tentang anak atau klien yang dimaksud, deskripsi tentang tingkah laku, perkembangan anak atau klien dari waktu ke waktu (case history), himpunan data (cummulative records), konferensi kasus (case conference).

DAFTAR PUSTAKA

Mudjiran, dkk. 2008. Buku Ajar: Perkembangan Peserta Didik. Padang: UNP Press.