UJIAN TENGAH SEMESTER
KONSELING POPULASI KHUSUS
Dosen Pembina:
Ifdil, S. HI, S. Pd., M. Pd., Kons.
ULYL AMRI
1204812/2012
BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2015
UJIAN TENGAH SEMESTER
KONSELING POPULASI KHUSUS
1. Karekteristik dan kondisi masing – masing populasi tersebut!
a. Konseling bagi siswa berbakat – gifted
Anak berbakat adalah anak-anak yang memiliki kemampuan yang berbeda dari anak normal pada umumnya. Taylor (dalam Ichrom, 1988: 10) menjelaskan bahwa anak-anak gifted adalah mereka yang mempunyai dalam keunggulan dalam bidang akademik, kreativitas, perencanaan, komunikasi, kemampuan melihat kedepan, dan kemampuan mengambil keputusan.
Martinson (dalam Zahara Djaafar 2001: 2) menjelaskan bahwa anak-anak tersebut memerlukan program pendidikan yang berbeda dengan pelayanan pendidikan di sekolah biasa agar dapat merealisasikan sumbangan mereka terhadap masyarakat dan terhadap diri mereka sendiri.
Sedangkan menurut Utami Munandar (2009: 15) tidak benar bahwa anak yang berbakat akan dapat mencapai prestasi tinggi dengan sendirinya dan tidak memerlukan perhatian dan pelayanan pendidikan khusus.
Tetller, Becker dan Sausa serta Fieldhusen (dalam Ichrom: 1988), ciri-ciri keberbakatan sebagai berikut: a) ingin tahu, b) tekun dalam mengejar minat, c) cepat memahami lingkungan, d) kritis pada diri sendiri dan orang lain, e) rasa humor tinggi, f) peka terhadap ketidakadilan, g) pemimpin banyak area, h) tidak mau menerima respon yang dangkal, i) memahami dengan mudah prinsip-prinsip umum, j) kosa kata luas, k) pekerja mandiri dan inisiatif, dan l) memahami hubungan dan mengenal makna.
Menurut Meyen (dalam Ichrom, 1988: 55-56) ada beberapa hal sisi negatif anak-anak gifted, yaitu:
1) Mungkin menipu, menolak nilai-nilai sosial, bertahan dari pengaruh sistem nilai,
2) Kadang menolak petunjuk-petunjuk, juga menolak atau menghilangkan hal yang rinci,
3) Sulit menerima hal-hal yang tidak nalar,
4) Suka mengikuti sistem-sistemnya sendiri, sehingga sering berada dalam konflik,
5) Kurang stimulasi awal dari keluarga dan sekolahnya,
6) Mempunyai sifat suka mengkritik secara langsung lain, dan sering merasa kurang bersemangat apabila mendapat kritikan,
7) Menolak hal-hal yang sudah diketahui, mereka menyukai penemuan mereka sendiri,
8) Tidak suka dienterupsi dan keras kepala.
b. Konseling bagi anak jalanan – runaway client
Menurut Bagong Suyanto (2010: 185) anak jalanan adalah anak-anak yang tersisih, marginal, dan teralienasi dari perlakuan kasih sayang karena kebanyakan dalam usia yang relatif dini sudah harus berhadapan dengan lingkungan kota yang keras, dan bahkan sangat tidak bersahabat. Di berbagai sudut kota, sering terjadi, anak jalanan harus bertahan hidup dengan cara-cara yang secara sosial kurang atau bahkan tidak dapat diterima masyarakat umum - sekadar untuk menghilangkan rasa lapar dan keterpaksaan untuk membantu keluarganya.
Adapun ciri-ciri anak jalanan secara umum (dalam Riyana, 2010), antara lain:
1) Sering bertempat di tempat-tempat umum,
2) Menempuh tingkat pendidikan yang rendah,
3) Berada pada keluarga yang tidak mampu,
4) Mencari pekerjaan sendiri.
c. Konseling bagi klien trauma – traumatic couseling
Menurut Sutirna (2013: 142) konseling traumatik adalah upaya konselor untuk membantu klien yang mengalami trauma melalui proses hubungan pribadi sehingga klien dapat memahami diri sehubungan dengan masalah trauma yang dialaminya dan berusaha untuk mengatasinya sebaik mungkin. Berdasarkan tujuan dari konseling traumatik ini adalah memberikan pemulihan kepada klien serta klien mampu menyesuaikan diri dengan keadaan nyata yang terjadi sekarang ini.
Ciri-ciri trauma (dalam Ourkami, 2010) yaitu:
1) Sering mengalami mimpi buruk,
2) Merasakan pikiran – pikiran yang menakutkan tentang kejadian yang pernah dialami,
3) Berusaha menghindari segala sesuatu yang mengingatkan pada kejadian,
4) Merasa dingin secara emosional,
5) Tidak peduli/sulit untuk percaya pada orang lain,
6) Sulit tidur,
7) Kehilangan minat pada aktifitas yang biasa dilakukan,
8) Perasaan bersalah,
9) Mudah marah atau agresif,
10) Sulit berkonsentrasi,
11) Takut berada di ruang publik/tempat yang sepi,
12) Cemas,
13) Suasana hati berubah-ubah dengan cepat,
14) Tangisan/kesedihan yang berulang-ulang.
d. Correctional counseling
Correctional counseling adalah bantuan yang diberikan kepada narapidana di lembaga pemasyarakatan yang bertujuan untuk mengubah pola tingkah laku yang salah dan narapidana tersebut menyadari bahwa tindakan yang telah dilakukannya tersebut salah.
Beberapa karakteristik dalam correctional counseling (dalam Nopina, 2014) yaitu sebagai berikut:
1) Bantuan layanan yang diberikan tersebut dikelompokkan melalui jenis kelamin atau jenis kasus narapidana.
2) Bertujuan untuk memberikan bekal bagi narapidana setelah bebas dari lembaga pemasyarakatan.
3) Lembaga pemasyarakatan menguatkan usaha-usaha untuk mewujudkan suatu sistem pemasyarakatan yang lebih baik.
4) Mencakup proses pembinaan agar narapidana menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan.
5) Pembinaan diharapkan agar para narapidana mampu memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan.
2. Latar belakang dan pentingnya konseling bagi populasi ini!
a. Konseling bagi siswa berbakat – gifted
Anak berbakat secara umum adalah “mereka yang karena memiliki
kemampuan-kemampuan yang unggul mampu memberikan prestasi yang tinggi”.
Istilah lain yang pada umumnya dugunakan adalah anak-anak yang memiliki kemampuan yang lebih dan berbeda dengan anak-anak normal pada dasarnya (dalam Septi Dwi Saputri, 2012).
kemampuan-kemampuan yang unggul mampu memberikan prestasi yang tinggi”.
Istilah lain yang pada umumnya dugunakan adalah anak-anak yang memiliki kemampuan yang lebih dan berbeda dengan anak-anak normal pada dasarnya (dalam Septi Dwi Saputri, 2012).
Melalui konseling yang diberikan kepada anak berbakat, dapat diketahui dimana letak keberbakatan anak tersebut. Selain itu anak berbakat mampu menegmbangkan kemampuannya yang lebih tersebut seoptimal mungkin.
Anak berbakat juga dapat untuk dapat mengontrol dirinya yang berasal dari dalam diri sendiri untuk mengatasi kegagalan secara konstruksif dan berupaya berhasil dengan baik.
b. Konseling bagi anak jalanan – runaway client
Menurut Hasanudin Ichwan (2000) munculnya anak jalanan pada umumnya dipengaruhi oleh keadaan ekonomi keluarga yang rendah. Pendapatan keluarga yang rendah cenderung memaksa anak dalm keluarganya ikut bekerja untuk mencari nafkah. Salah satu penyebabnya antara lain rendahnya pendapatan orang tua dalam keluarga dan banyaknya anggota dalam keluarga yang harus dipenuhi kebutuhannya. Hal ini membuat anak dalam keluarga ikut membantu orang tuanya bekerja untuk memenuhi kebutuhannya keluarganya sebagian besar di jalanan/tempat umum.
Adapun keterkaitan dengan dunia konseling, konselor berperan penting dalam memajukan pendidikan di Indonesia, baik individu dalm sekolah maupun indiviu yang tidak bersekolah. Oleh sebab itu, kita haru dapat mengerti dan memahami alasan kenapa anak jalanan banyak sekali yang memutuskan untuk tidak bersekolah.
Salah satu bentuk pelayanan yang dapat diberikan terhadap anak jalanan tersebut yaitu melalui layanan bimbingan kelompok (dalam Khoirul Amriani, 2012). Bimbingan kelompok bermanfaat untuk membantu para anak jalanan menemukan dirinya sendiri, mengarahkan diri dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.
c. Konseling bagi klien trauma – traumatic couseling
Konseling traumatik merupakan bantuan yang diberikan kepada individu yang mengalami suatu kejadian sehingga menjadi trauma akan kejadian tersebut dan membantu individu tersebut menyesuaikan diri dengan keadaan sekarang ini.
Konseling traumatik berbeda dari konseling biasa. Perbedaan itu terdapat pada waktu, fokus, aktivitas, dan tujuan. Dari segi waktu, konseling traumatik memakai waktu lebih pendek daripada konseling biasa pada umumnya. Konseling biasa memakai waktu sesi konseling sampai dua puluh sesi, sedangkan konseling traumatik cukup memakai waktu enam sesi saja (Sutirna, 2013: 142).
Adapun tujuan konseling traumatik (dalam Sutirna, 2010: 143) yaitu sebagai berikut:
1) Berpikir realistis bahwa trauma adalah bagian dari kehidupan,
2) Mendapatkan pemahaman mengenai kejadian yang menimbulkan trauma,
3) Menerima perasaan yang berhubungan dengan kejadian trauma,
4) Terampil dalam mengatasi trauma.
d. Correctional counseling
Correctional counseling merupakan bantuan konseling yang diberikan terhadap warga binaan yang berada pada lembaga pemasyarakatan yang bertujuan untuk perbaikan sikap dan tingkah laku narapidana, baik fisik maupun psikologis sehingga para narapidana mampu memahami dan merubah sikap ke arah yang lebih baik lagi.
Konseling pada dasarnya melibatkan pelaksanaan praktek yang membantu individu, kelompok dan organisasi agar berfungsi secara optimal dengan menilai dan mengubah disfungsi pribadi dan interpersonal yang terjadi di banyak daerah, seperti penyesuaian emosional, masalah hubungan, perencanaan karir, dan/atau masalah kesehatan. Individu membutuhkan konseling untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, mengurangi tekanan dan ketidakmampuan, dan menyelesaikan konflik. Reorientasi individu dilakukan oleh semua “helping profession”, yaitu mulai dari konselor hingga pekerja sosial (Key Sun, 2008: 5).
3. Kompetensi apa saja yang perlu dimiliki konselor untuk penanganan populasi tersebut!
a. Konseling bagi siswa berbakat – gifted
Ishak & Abu Bakar (dalam Scribd, 2010) menyebutkan bahwa dalam proses konseling anak berbakat, konselor harus memperhatikan; 1) Profil anak berbakat dan masa-lah yang sedang ia alami. Memahami profil anak berbakat adalah langkah pertama dalam proses konseling. Proses ini dapat membuahkan sebuah profil kepribadian si anak berbakat, yang mencakup aspek kognitif, afektif dan perkembangan peri-laku mereka. Dengan pemahaman yang benar terhadap profil anak berbakat, pro-ses konseling akan benar-benar efektif dan tepat sasaran; 2) Lingkungan terapi yang mendukung proses konseling. Anak berbakat lebih sensitif terhadap lingku-ngan sehingga dapat mempengaruhi hubungan konselor dan konseli; 3) Anjuran-anjuran intervensi yang tersedia. Konselor harus selalu kreatif dan inovatif saat mengajukan alternatif intervensi yang akan dilakukan; 4) Proses eksekusinya/in-tervensinya. Dalam proses ini, konselor harus lebih sensitif terhadap pelaksanaan-nya. Anak berbakat disebut memiliki kritik-diri yang tinggi dan lebih rentan terha-dap kecemasan, sehingga proses intervensi yang kasar hanya menimbulkan reaksi negatif; dan 5) Proses lanjutan paska terapi. Hal ini penting, agar hasil konseling dapat berlaku terus menerus sekaligus melakukan evaluasi keberhasilan intervensi.
Dengan model ini, berarti proses konseling harus dilakukan secara berbeda, tergantung profil dan masalah yang dihadapi (differentiated model).
b. Konseling bagi anak jalanan – runaway client
Dalam proses konseling bagi anak jalanan, konselor harus memiliki WPKNS yang luas. Lebih jelasnya kompetensi yang harus dimiliki oleh konselor (dalam Nopina, 2014) yaitu sebagai berikut:
1) Memiliki pemahaman dan wawasan mengenai konsep anak jalanan itu sendiri,
2) Terampil dalam memberikan pelayanan konseling,
3) Mampu menampilkan penyambutan yang hangat terhadap klien (anak jalanan) sehingga anak jalanan tersebut tidak merasa takut dengan keberadaan konselor dan dapat menjalani proses konseling dengan sukarela dan terbuka,
4) Dapat memberikan penguatan-penguatan yang positif kepada anak jalanan untuk kembali mengikuti atau memasuki bangku sekolah kembali.
c. Konseling bagi klien trauma – traumatic couseling
Pada saat memberikan bantuan konseling terhadap penderita trauma, konselor harus benar-benar memiliki pemahaman mengenai trauma itu sendiri. Konselor harus mampu membantu klien dalam mengatasi trauma yang dialami klien terhadap suatu kejadian yang menyebabkan trauma tersebut.
Konselor harus mampu memberikan pemahaman kepada klien tentang bagian mana kejadian trauma tersebut yang mengganggu kehidupan sehari-hari klien. Oleh sebab itu, sangat ditekankan sekali kepada seorang konselor mengenai WPKNS konselor itu sendiri (dalam Nopina, 2014).
Selain itu, konselor sebagai pelaksana layanan konseling trauma terhadap penderita trauma juga harus terampil dalam memberikan pelayanan tersebut dan menguasai segala teknik-teknik yang digunakan dalam kegiatan layanan konseling.
d. Correctional counseling
Adapun dalam menangani dan memberikan bantuan konseling terhadap warga binaan di lembaga pemasyarakatan, konselor setidaknya memiliki tiga kompetensi berikut ini (dalam Nopina, 2014), yaitu:
1) Memiliki kompetensi tentang pelayanan bimbingan dan konseling,
2) Memiliki pemahaman tentang hukum,
3) Memiliki keahlian dalam beladiri,
Sedangkan, Key Sun (2008: 13-16) mengemukakan lima kompetensi yang perlu dimiliki oleh konselor dalam correctional counseling, yaitu:
1) Memiliki pengetahuan tentang konseling, psikologi, dan ilmu sosial terkait serta kemampuan untuk menerapkan pengetahuan tersebut dalam pemasyarakatan,
2) Keterampilan dalam komunikasi tertulis dan lisan yang bagus,
3) Mengembangkan dan memelihara hubungan kerja yang baik dengan pelaku dan personil pemasyarakatan lainnya,
4) Mahir menggunakan komputer,
5) Memiliki kompetensi multicultural.
4. Apa saja peran konselor untuk pelayanan bagi populasi tersebut!
a. Konseling bagi siswa berbakat – gifted
Adapun peran konselor dalam memberikan pelayanan bagi anak berbakat yaitu konselor dapat mengidentifikasi anak berbakat, konselor dapat membantu dalam mengembangkan potensi yang dimiliki oleh anak berbakat tersebut, serta memberikan pengarahan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh anak berbakat.
Implikasi bagi guru pembimbing anak berbakat disimpulkan oleh Barbie dan Renzulli (dalam Nopina, 2014) sebagai berikut:
1) Pemahaman diri sendiri oleh guru pembimbing tentang apa yang dilakukan terhadap anak serta bagaimana guru pembimbing melakukan terhadap anak tersebut.
2) Perlunya wawasan bagi guru pembimbing tentang pengertian keberbakatan itu sendiri.
3) Lingkungan belajar yang diusahakan oleh guru pembimbing sesuai dengan perkembangan anak.
4) Guru pembimbing lebih memberikan tantangan daripada rintangan terhadap anak.
5) Proses belajar yang lebih diberikan oleh guru pembimbing daripada hasil.
6) Umpan balik yang lebih baik diberikan oleh guru pembimbing daripada nilai.
7) Adanya alternatif strategi belajar yang diberikan guru pembimbing.
b. Konseling bagi anak jalanan – runaway client
Dalam memberikan pelayanan konseling bagi anak jalanan, konselor berperan dalam memberikan pelayanan bimbingan konseling dengan tujuan memberikan pengarahan terhadap anak jalanan, mengurangi tingkat anak jalanan yang ada, serta pemahaman yang diberikan kepada anak jalanan bahwa pendidikan lebih penting bagi mereka (dalam Nopina, 2014).
Selain itu, konselor juga dapat berperan dalam layanan yang diberikan sesuai dengan tahap perkembangannya dan kepribadian anak jalanan tersebut.
c. Konseling bagi klien trauma – traumatic couseling
Adapun peran konselor dalam memberikan pelayanan konseling bagi penderita trauma adalah dapat memberikan pengarahan terhadap klien tentang kejadian yang dialami klien sehingga menimbulkan trauma, mengarahkan pola pikir klien terhadap kejadian yang menimpa klien tersebut adalah sesuatu pelajaran yang dapat diambil maknanya, serta pemahaman yang diberikan terhadap klien bahwa kejadian trauma tersebut bukan suatu hal yang harus ditakuti atau dikhawatirkan (dalam Nopina, 2014).
d. Correctional counseling
Peran konselor dalam pelayanan konseling terhadap warga binaan di lembaga pemasyarakatan (dalam Nopina, 2014) adalah memberikan kesiapan terhadap klien sebelum kembali ke lingkungan masyarakat, membantu klien setelah bebas dari penjara klien mampu berbaur kembali di lingkungan dengan sikap dan tingkah laku serta kepribadian yang lebih baik lagi.
Peran konselor juga bertujuan untuk memberikan kesadaran kepada klien bahwa sikap dan tingkah lakunya selama ini salah, sehingga klien bisa merubah tingkah laku tersebut lebih baik lagi dan tidak lagi mengulang tingkah laku tersebut dimasa selanjutnya.
5. Dengan siapa sajakah kerja sama dapat dilakukan dalam pelaksanaan pelayanan konseling dan apa sajakah bentuk kerja sama tersebut!
a. Konseling bagi anak berbakat – gifted
Dalam pelaksanaan layanan konseling terhadap anak berbakat, adapun kerja sama yang dapat konselor lakukan (dalam Nopina, 2014) antara lain:
1) Pihak penyalur minat dan bakat
Melalui pihak penyalur minat dan bakat ini, anak berbakat akan merasa benar-benar terpenuhi kebutuhannya. Misalnya, konselor dapat bekerja sama dengan pihak label musik. Maka anak berbakat pada bidang musik, konselor dapat mengarahkan bakat anak tersebut melalui pihak label musik tersebut.
2) Pihak sekolah
Pihak ini sangat diperlukan dalam pelaksanaan layanan konseling terhadap anak berbakat. Melalui sekolah, anak berbakat dapat teridentifikasi dengan mudah melalui guru-guru mata pelajaran di sekolah. Guru mata pelajaran dapat memberikan materi pelajaran sesuai dengan kebutuhan anak tersebut.
b. Konseling anak jalanan – runaway client
Pelaksanaan layanan konseling terhadap anak jalanan, konselor dapat menjalin kerja sama dengan pihak perlindungan anak. Melalui kerja sama ini, anak jalanan dapat terlindungi hak-haknya serta anak jalanan dapat menjalani kewajibannya dan mendapatkan pendidikan yang layak baginya (dalam Nopina, 2014).
c. Konseling bagi klien trauma – traumatic couseling
Layanan konseling terhadap penderita trauma, konselor dapat bekerja sama dengan pihak dokter atau psikolog yang bisa memberikan terapi-terapi untuk mengatasi trauma klien (dalam Nopina, 2014). Selain itu, dalam konseling trauma pihak lain yang dapat terlibat adalah 1) konselor yang lebih ahli, 2) orang tua klien, dan 3) beberapa orang yang memahami tentang konseling trauma itu sendiri.
d. Correctional counseling
Dalam pelaksanaan correctional counseling, konselor dapat bekerja sama dengan pihak kepolisian yang secara langsung menangani para narapidana. Kerja sama ini bertujuan sebagai antisipasi apabila pada saat proses konseling diberikan, narapidana tiba-tiba menyerang konselor dan proses konseling tidak berjalan dengan lancar (dalam Nopina, 2014).
DAFTAR PUSTAKA
Bagong Suyanto. 2010. Masalah Sosial Anak. Jakarta: Kencana.
Hasanudin Ichwan. 2000. Konseling Anak Jalanan (Online). Dalam http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/19819. Diakses pada tanggal 10 April 16:45 WIB.
Key Sun. 2008. Correctional Counseling: A cognitive growth perspective. USA: Central Washington University.
Khoirul Amriani. 2012. Bimbingan Konseling terhadap Anak Jalanan (Online). Dalam http://khoirulamriani.blogspot.com/2012/06/bimbingan-konseling-terhadap-anak_22.html. Diakses pada tanggal 10 April 2015 pukul 17:05 WIB.
Nopina. 2014. Correctional Counseling (Online). Dalam http://nopinaahpharahap.blogspot.com/2014/11/correctional-counseling.html. Diakses pada tanggal 9 April 2015 pukul 16:10 WIB.
Ourkami. 2010. Trauma (Online). Dalam https://ourkami.wordpress.com/2010/05/24/trauma/. Diakses pada tanggal 9 April 2015 pukul 15:45 WIB.
Riyana. 2010. Anak Jalanan (Online). Dalam http://karya-riyana.blogspot.com/. Diakses pada tanggal 10 April 2015 pukul 15:10 WIB.
Scribd. 2010. Konseling Anak Berbakat (Online). Dalam http://www.scribd.com/doc/202447882/Konseling-Anak-Berbakat-Take-Home-Exam#scribd. Diakses pada tanggal 10 April 2015 pukul 17:30 WIB.
Septi Dwi Saputri. 2012. Anak Berbakat (Online). Dalam https://septidwisaputri.wordpress.com/anak-berbakat/. Diakses pada tanggal 9 April 2015 pukul 16:30 WIB.
Soleh, M. Ichrom. 1988. Perspektif Pendidikan Anak Gifted. Jakarta: Depdikbud PPLP-TK.
Sutirna. 2013. Bimbingan dan Konseling. Bandung: Andi.
Tengku, Zahara J. 2001. Arah Pelayanan Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta: UNP.
Utami, Munandar. 2009. Pengembangan Kreatifitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.
